<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/12082299?origin\x3dhttp://klipingpribadi.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>
Google  
Web    Images    GroupsNew!    News    Froogle    more »
  Advanced Search
  Preferences    
 Web Results 1 - 10 for Kliping Media Masa[definition].  
 
    
« Home

Posts

Bukan Main, Pendapatan Para Eksekutif Properti
DVD vs Blu Ray
“Money Game” di Internet
Jadi Orang Bulé
repl. gift
050312-Fokus Kompas: Kasus Ambalat
Looking for Sex Tonight? Ward Strickland
doubleton than seeing
Re: Poor credit not a problem
We are ready to give you a loan
 
     Archives
October 1987
February 1999
December 1999
January 2000
February 2000
June 2000
October 2000
December 2000
January 2001
February 2001
March 2001
July 2001
August 2001
January 2002
April 2002
June 2002
January 2003
February 2003
June 2003
July 2003
September 2003
October 2003
January 2004
May 2004
September 2004
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
May 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
January 2008
 
     Links
Indonesia
English
Bebas Finansial?

Tekstil China Menyerbu seperti Tsunami

KOMODITAS tekstil dan produk tekstil yang berasal dari China sedang menjadi buah bibir di mana-mana di dunia, khususnya bagi mereka yang bergerak di bidang itu. Dari Asia ke Eropa, dari Amerika Serikat ke Kenya, semua menjerit dan tak kuasa menghadapi derap dari serbuan TPT China yang menggelas bagai roda buldoser.

Isu tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China melejit sejak 1 Januari 2005. Kuota yang disusun tahun 1974 untuk memberi ruang bernapas bagi industri TPT di AS dan Uni Eropa (UE) sudah dibebaskan pada 1 Januari. Jauh hari sebelumnya sudah diingatkan, hati-hati dengan buldoser China! Hal itu kini seperti terbukti.

Soalnya, serbuan TPT asal China selama ini masih bisa diredam lewat pengenaan kuota. Namun, setelah 1 Januari 2005, kuota dibebaskan sehingga negara yang paling kuat dan bersaing akan tampil sebagai pemenang, dan itu adalah China.

Hongkong sudah lama merasakan dampak besar dari bangkitnya China menjadi pemain terdepan soal TPT. Pada dekade 1980-an, pabrik-pabrik TPT Hongkong sudah hengkang ke China karena biaya produksi yang murah. Di China investor asal Hongkong sudah mempunyai 77.000 pabrik. Kehadiran mereka telah mengubah secara dramatis kota Guangzhou di China selatan, yang awal dekade 1990-an masih ditumbuhi pepohonan dan kini menjelma menjadi pohon-pohon gedung pencakar. Hongkong dan Guangzhou sudah seperti menyatu dan tak bisa dipisahkan dari segi bisnis.

Gilasan roda buldoser China juga menggetarkan saraf ketakutan hingga ke Benua Afrika. Di pabrik TPT milik perusahaan Upan Wasana di Ruraka, yang berada di pinggiran Nairobi, ibu kota Kenya, ada sejumlah mesin yang terpaksa menganggur. Sebagian dari ruang-ruang untuk para pekerja di pabrik itu sudah sunyi senyap. Sebagian warga Kenya mengatakan, kesenyapan itu akibat "tsunami China". Upan Wasana tak mampu lagi bersaing di pasar Eropa dan AS dengan TPT asal China yang berharga murah.

Menurut Direktur Pelaksana Upan Wasana Bandu Udalagam, sekitar 275 dari 2.160 karyawan terpaksa dirumahkan karena pesanan dari AS telah anjlok selama empat bulan pertama tahun 2005. "Kami kehilangan pesanan karena biaya produk kami lebih tinggi daripada China. Perusahaan tak bisa bertahan lagi sehingga harus mengurangi karyawan," kata Udalagam. Hal serupa juga terjadi di tempat lain di Afrika.

Di AS, cerita serupa juga terjadi. Data-data menunjukkan defisit perdagangan AS untuk komoditas TPT sudah mencapai rekor pada tahun 2004, yakni 73,1 miliar dollar AS. TPT menyumbang 12 persen dari total defisit perdagangan AS yang 617,7 miliar dollar AS pada tahun 2004, juga sebuah rekor.

Pihak American Manufacturing Trade Action Coalition (AMTAC) mengatakan, peningkatan impor menyebabkan terus memudarnya kesempatan kerja di perusahaan AS yang bergerak di bidang TPT. Jumlah pekerja sudah turun dari 1,05 juta pekerja pada Januari 2001 menjadi 683.400 pekerja pada Januari 2005.

AMTAC mengatakan, faktor China merupakan perusak TPT di AS. China menyumbang 25,02 persen dari total impor TPT AS pada tahun 2004. Porsi itu naik sebesar 40,74 persen dibandingkan dengan porsi yang tercatat pada tahun 2003. "Jumlah ini memperlihatkan bahwa China, lewat praktik perdagangan yang tidak fair, sudah menjadi pemain dominan di pasar TPT AS," kata Auggie Tantillo, Direktur AMTAC.

Defisit perdagangan TPT AS dengan China naik 25,3 persen menjadi 17,5 miliar dollar AS pada tahun 2004. Tahun 2003 defisit serupa masih sebesar 14 miliar AS. Pada sejumlah kategori, ekspor China ke AS naik 700 persen sejak tahun 2001 saat China masuk anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Karena itu organisasi perusahaan TPT AS telah melayangkan petisi kepada Pemerintah AS untuk meredam impor TPT China untuk kategori tertentu dengan membatasi impor menjadi hanya bisa tumbuh maksimal 7,5 persen dari total impor tahun 2004. "Itu penting untuk mencegah perusakan lebih lanjut pada TPT AS," kata Tantillo.

CHINA sangat tidak salah dengan memiliki komoditas TPT- nya yang murah. Hal itu disebabkan China memang memiliki upah buruh murah. Mengapa murah? Menurut Asian Labour pada tahun 2004, rata-rata upah buruh di pabrik sepatu di China yang dimiliki investor Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan rata-rata 4.340 dollar AS per tahun.

Namun, menurut survei Asian, gaji setingkat itu bukanlah merupakan gambaran gaji yang sebenarnya yang didapatkan buruh-buruh pabrik di China. Survei organisasi pekerja Asia itu menyebutkan, gaji sepertiga dari 4.340 dollar AS atau sekitar 1.400 dollar AS per tahun sudah dianggap sangat bagus di China. Itu artinya gaji di China sekitar Rp 1.000.000 per bulan sudah dianggap terbagus. Berarti, secara implisit gaji rata-rata pada umumnya di China jauh lebih rendah dari angka itu.

Lalu bandingkan dengan rata-rata gaji di AS yang setiap pekan mendapatkan antara 428 dollar AS hingga 829 dollar AS. Data ini adalah berdasarkan hasil survei Departemen Tenaga Kerja AS. Artinya, gaji tertinggi buruk untuk dua pekan di AS lebih kurang setara dengan gaji setahun di China.

Itu baru soal gaji. Jika disimak ke dalam pabrik-pabrik, karyawan China lebih rajin ketimbang karyawan di pabrik- pabrik di AS, yang banyak menuntut leisure time (waktu senggang).

Karena itu tak mengherankan jika produk-produk buatan China sangat murah di pasaran internasional. Tekstil adalah contoh dari produk murah China, yang selama empat bulan pertama tahun 2005 telah meningkat 29 persen di pasaran ekspor secara rata-rata.

Pada tahun 2004 saja total ekspor tekstil China mencapai 95 miliar dollar AS dan diperkirakan akan menjadi 100 miliar dollar AS pada tahun 2005. Demikian data berdasarkan informasi dari Wakil Ketua Kamar Dagang China untuk Urusan Ekspor dan Impor Tekstil Cao Xinyu.

UE juga turut merasakan gilasan buldoser TPT China. Ketua Komisi Perdagangan UE Peter Mandelson mengatakan, hasil penelitian menunjukkan adanya ancaman besar pada perusahaan di UE yang membuat t-shirt (kaus oblong) dan flax yarn (benang rajutan) yang terancam oleh China. Pemerintahan di EU kini berada di dalam tekanan untuk meredam impor China. Tekanan itu datang dari perusahaan di UE, yang khawatir akan kehilangan pekerjaan.

Sejauh ini UE sedang menyelidiki sembilan kategori impor TPT asal China. Dari hasil penyelidikan itu ditemukan bahwa penjualan t-shirts China ke UE naik 187 persen sejak 1 Januari 2005 dan penjualan flax yarn asal China naik 56 persen.

Berdasarkan aturan main WTO, UE bisa mengenakan pembatasan sementara untuk menghambat terjangan TPT China, 15 hari sejak pembicaraan formal. Untuk UE sudah mengenakan sementara pembatasan dengan alasan, impor TPT China telah menyebabkan disrupsi luar biasa.

Pengusutan atas dampak kerusakan dari serbuan TPT China di UE itu dimulai pada 29 April dan berlangsung selama 60 hari. Namun, UE sudah mengenakan keputusan untuk membatasi sementara impor TPT China untuk kategori tertentu sejak pertengahan Mei. Pembatasan sanksi itu bisa berlangsung hingga tahun 2005.

Hasil penelitian itu memperlihatkan TPT China memukul pesaingnya dari Yunani, Portugal, dan Slovenia pada khususnya. Produksi t-shirt di Yunani anjlok 12 persen setahun lalu, di Portugal anjlok 30-50 persen, dan Slovenia anjlok 8 persen.

Produksi dan penjualan flax yarn buatan UE anjlok seperempat dan pekerjaan hilang 13 persen. "Kenaikan pesat impor menyebabkan semua itu terjadi dan juga menghancurkan industri tekstil di sejumlah negara berkembang (pesaing China)," kata Mandelson.

Impor UE untuk t-shirts dari Pakistan, Sri Lanka, dan Banglades juga anjlok karena digilas produk China.

Namun perlu diingat, tidak semua jenis TPT menjadi keunggulan China. Peter Cunningham, Direktur Departemen Perdagangan North Carolina, mengatakan, sebenarnya masih tetap ada celah. Ia mengatakan, untuk TPT jenis nonwoven fabrics (TPT bukan tenunan), China sangat masih tertinggal jauh. Produk seperti itu masih menjadi keunggulan negara-negara industri.

"China menggusur pekerjaan di TPT berharga ’rendah’ dan masih ada kesempatan desain dan teknologi," katanya. Daya saing China sangat kuat pada biaya buruh murah untuk weaving (tenunan) atau stitching. Namun, untuk bidang yang menjadi keunggulannya, China sudah menjadi buah bibir yang menakutkan bagi siapa pun.

Di sisi lain, booming ekspor TPT China juga menjadi sumber rezeki bagi perusahaan pemasok teknologi. Mirco Bertocchi tidak menunggu apa hasil perdebatan antara China melawan AS dan UE di WTO. Dia terlalu sibuk menjual mesin pabrik tekstil buatan Italia ke perusahaan-perusahaan China.

"Jika Anda menangis, Anda tidak akan menyelesaikan persoalan," kata Bertocchi, manajer penjualan di Panter Textile Machinery, Gandino, di dekat kota Milan, pada 4 Juni saat menghadiri pameran di Shangtex Trade Show, Shanghai.

Sekitar 1.300 perusahaan dari AS, Eropa, Jepang, dan lainnya memamerkan mesin-mesin mereka. Mereka berharap pameran itu akan bisa jadi ajang penjualan bisnis jutaan dollar AS. Sementara perusahaan TPT di AS dan UE mengeluh para penjual mesin dari negara yang sama melihat potensi besar bisnis untuk produk-produk mereka.

Penyelenggara Shangtex mengatakan, jumlah yang mengikuti pameran meningkat pesat. Lokasi pameran memakan tempat seluas hanggar untuk tujuh pesawat besar. Gedung pameran diperluas 40 persen lebih besar daripada pameran serupa tahun lalu.

Panter telah menjual sekitar 1.800 mesin per tahun di China dan lepas dari kelesuan pasar di Italia sendiri.

"Di Eropa, kami tidak lagi menjual secara bagus seperti di tahun-tahun lampau. Jadi kami menjual produk kami ke Amerika Selatan, Taiwan, dan China" kata Bertocchi. "Bumi itu memang bundar," katanya. (REUTERS/AP/AFP/MON)
Tekstil China Menyerbu seperti Tsunami - Monday, June 13, 2005 -

Post a Comment


Result Page: 

 
















































 


 

Search within results | Language Tools | Search Tips | Dissatisfied? Help us improve


Google Home - Blogger - Blogger Templates

© 2005 Kliping Media Masa