SEORANG direktur sebuah bank swasta nasional dan seorang general manager sebuah perusahaan agro industri Indonesia pekan lalu mencari informasi tentang pendapatan para eksekutif dan pialang properti. Kedua eksekutif tersebut mendengar bisik-bisik yang menyebutkan pendapatan para eksekutif dan pialang properti kini menduduki peringkat atas, lebih tinggi dibandingkan pendapatan para bankir, eksekutif di perusahaan industri dan farmasi.
MELALUI jaringan mereka yang luas, keduanya mengail data dari para pihak yang mengetahui pendapatan eksekutif perusahaan properti. Dari jaringan itulah mereka kemudian mendapat kenyataan mengejutkan bahwa pendapatan para eksekutif perbankan, industri dan farmasi, cukup jauh di bawah pendapatan para eksekutif dan broker (perantara) perusahaan properti kelas menengah ke atas.
Gambaran umumnya bisa seperti ini. Gaji awal para pemula perusahaan properti bervariasi antara Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta. Gaji manajer beragam antara Rp 7,5 juta sampai Rp 17 juta. Gaji para general manager (GM) berada dalam kotak Rp 20 juta sampai Rp 40 juta. Seorang direktur perusahaan properti mendapat gaji antara Rp 40 juta sampai Rp 60 juta. Lalu seorang chief executive officer (CEO) memperoleh gaji antara Rp 65 juta sampai Rp 110 juta per bulan.
Angka-angka di atas belum termasuk tunjangan hari raya, bonus per triwulan, komisi, dan dividen, sehingga pegawai di sejumlah perusahaan properti rata-rata menerima 18 bulan gaji per tahun. Selain itu, kelompok asisten manajer ke atas mendapat fasilitas mobil. Makin tinggi posisi staf atau eksekutif properti, makin luks fasilitas mobil yang diperolehnya. Di perusahaan properti berkelas, manajer senior sudah mendapat mobil Toyota Altis, direktur memperoleh mobil BMW Serie 5. Dan seorang CEO mendapat jatah BMW Serie 7 atau Mercedes S-Class. Bukan main!
PARA broker properti juga mencicipi manisnya bisnis properti tiga tahun terakhir. Pendapatan mereka tidak kalah fantastisnya dibandingkan para eksekutif yang ke mana-mana duduk di mobil mewah. Data berikut bisa menjadi parameter pendapatan mereka.
Seorang broker pemula individu rajin, dan bertipe petarung, mampu mendapatkan penghasilan bersih Rp 60 juta per bulan. Sementara broker senior yang mempunyai jaringan amat luas, bahkan mampu meraih Rp 100-an juta per bulan.
"Berapa besar penghasilan broker, banyak tergantung pada seberapa tangguh ia bergulat di lapangan. Kalau ia tabah, tahan banting, tahan risi, cerdas dan pandai meyakinkan konsumen, ia mempunyai modal kuat sebagai pialang yang hebat," ujar seorang broker properti di Jakarta, Betta Harjuli.
Kriteria lain, katanya, ia harus mempunyai jaringan orang berduit yang amat luas. Jadi kalau ia hebat di lapangan, ia minimal memperoleh Rp 65 juta per bulan. Apabila jaringannya canggih, pendapatannya bisa mencapai Rp 100-an juta.
Seorang direktur sebuah perusahaan broker menyebutkan, kalau bekerja dengan sedikit rileks, ia minimal memperoleh Rp 90 juta per bulan. Kalau ia bekerja di atas ukuran normal, pendapatannya bisa mencapai Rp 200 juta per bulan. Pendapatan ini jauh di atas pendapatan para CEO bank swasta nasional maupun para direktur utama bank milik negara. Gaji dan tunjangan untuk menteri, presiden, wakil presiden.
Pertanyaan yang relevan diajukan, dari mana dan bagaimana para broker tersebut memperoleh pendapatan sedemikian tinggi? Suhandi, broker independen, menyatakan, para broker memperoleh fee sekian persen dari penjualan apartemen atau township. Besaran fee biasanya bervariasi antara 2,5-3 persen dari nilai jual apartemen. Kalau nilai jual apartemen Rp 3 miliar per unit, maka ia maksimal memperoleh pendapatan Rp 90 juta. Menjual lima unit apartemen sebulan ia memperoleh Rp 450 juta.
Seorang broker independen yang enggan disebut namanya menyatakan, ia bahkan pernah bekerja mati-matian, tidak kenal waktu, dan mampu menjual 10 unit apartemen dalam sebulan. Agar tidak terganggu oleh kemacetan, ia menggunakan sepeda motor untuk beroperasi. "Tidak selalu bernasib mujur. Tetapi, kalau nasib lagi berpihak pada kita, kadang kala rezeki nomplok yang datang amat hebat," katanya.
Demikian hebatnya kilau pendapatan para broker papan atas properti menyebabkan sejumlah warga dari profesi lain pindah ke profesi broker properti. Kalangan yang masuk ke dunia broker ini di antaranya dari profesi dokter gigi, dokter umum, arsitek, insinyur sipil, guru, dan advokat. Mereka merasa cukup nyaman bekerja sebagai broker individu, broker yang masuk dalam agen tertentu. Mereka merasa masuk ke dunia yang lain sama sekali. Mereka kemudian mampu berkompetisi dengan para broker senior karena mereka mempunyai jaringan relasi yang amat luas. Juga keuletan dan kecerdasan rata-rata dan di atas rata-rata.
Dengan situasi seperti ini, pada tahun-tahun mendatang pekerjaan broker properti, baik yang bekerja secara individu, masuk dalam agen, atau bekerja berkelompok, akan makin berkembang.
Gambaran tentang profesi broker yang berkembang dapat dilihat di Singapura. Para dokter dan ahli hukum banyak yang pindah ke dunia broker properti. Salah seorang di antaranya adalah dokter St Quek yang kini memimpin perusahaan properti yang bergengsi di Singapura. Dr Quek pula yang berjasa membimbing banyak broker kampiun Singapura dan Indonesia.
Di Indonesia sudah kerap terjadi seorang CEO perusahaan raksasa bersedia pindah ke perusahaan properti besar. Selain pendapatan lebih besar, mereka memburu tantangan pekerjaan yang lebih menuntut kreativitas dan langsung berhadapan dengan publik.
BAGAIMANA dengan gaji atau pendapatan para pegawai bank? Menurut data sementara yang diperoleh dari para bankir, gaji teller bank biasanya antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per bulan. Gaji manajer antara Rp 4 juta sampai Rp 8 juta. Gaji general manager antara Rp 12 juta sampai Rp 25 juta. Dibandingkan dengan pendapatan para staf perusahaan properti, gaji para pegawai bank, termasuk bank asing, serta gaji para eksekutif perusahaan industri yang terkenal tinggi, masih kalah besar dibanding para staf perusahaan properti.
Bagaimana tanggapan para eksekutif perusahaan properti?
"Biasa saja," ujar Giat Susanto, seorang GM sebuah perusahaan properti yang sedang berkibar. Menurut Giat, dengan pendapatan per bulan yang untuk ukurannya sangat mentereng, ia berhak meraih hidup nyaman. Namun, ia menepis semua bayangan kenyamanan itu dan memilih hidup sederhana. Ia menyadari bahwa hidup teratur dan disiplin dalam hal anggaran akan membuat ia aman di hari tua. Maka Giat tidak larut dalam sikap hedonis seperti ditunjukkan sebagian eksekutif lainnya. Disiplin dalam hal anggaran juga memungkinkan ia mempunyai deposito, dan mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah papan atas dalam hal mutu pelajaran.
Eksekutif properti lainnya, Veriansyah M, diberi kepercayaan menjadi direktur eksekutif sebuah perusahaan properti amat besar di Jakarta. Gaji pokoknya mencapai Rp 60 juta per bulan. Tetapi, ia juga tak hidup berlebihan. Ia memilih tinggal di apartemen. Pakaian dan sepatunya dari kelas menengah, bukan papan atas. Jika ke restoran, dalam ukuran yang juga sederhana. "Saya menikmati hidup dengan cara seperti ini," tutur Veriansyah yang ke mana-mana menggunakan mobil BMW Serie 5. Mengenai gaji dan bonusnya yang amat besar, Veriansyah menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Tingginya pendapatan para pekerja di ladang properti seperti memberi peneguhan bahwa bisnis ini memang tengah naik daun. Para pengembang, terutama pengembang papan atas, terkesan berlomba memburu para pekerja properti andal. "Kalau Anda bekerja untuk dia akan memperoleh sekian juta rupiah, tetapi kalau dengan perusahaan kami Anda akan meraih kenikmatan yang lebih hebat," begitu antara lain bujuk rayu para pemburu pekerja properti.
Pihak yang diuntungkan tentu saja para pekerja properti itu. Jika mempunyai reputasi dan jam terbang tinggi, mereka akan memperoleh pendapatan yang sangat tinggi. Tidak heran kalau banyak warga dari disiplin ilmu lain pindah ke sektor properti.
Namun, di balik gemerlap properti ada hal yang mesti mendapat perhatian para eksekutif properti. Yakni bahwa bisnis properti tidak selamanya mengilap. Ada masa-masa dalam siklus tertentu bisnis yang membutuhkan modal besar ini ibarat lesu darah. Pasar sepi dan sejumlah proyek harus dikerjakan secara bertahap atau bahkan dihentikan sama sekali. Krisis ekonomi Indonesia yang amat buruk antara tahun 1997-2000 bisa menjadi pelajaran berharga. Di era itu, cukup banyak pengusaha besar Indonesia yang ikut terjun ke bisnis properti, lalu terjerembab dan sampai saat ini belum mampu menunjukkan kinerja hebat.
Sangatlah bijaksana kalau para pengembang, eksekutif dan broker properti melihat masalah tersebut sebagai hal yang sangat serius, dan oleh karena itu membuat prediksi atau perencanaan perusahaan secara amat matang. Dan meski properti sedang lesu darah, perusahaan properti tetap mampu bertahan, begitu pula para pekerjanya.
Para pemain properti Amerika Serikat, Australia, Asia Timur, dan sebagian Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sudah melakukan hal tersebut. (Abun Sanda)