Kompas - 27 Juni 2005
SETELAH pergolakan reformasi 1998, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi peristiwa langka tapi luput dari perhatian publik. Mulanya adalah ide kunjungan informal Perdana Menteri Israel kala itu, Yitzhak Rabin ke Gus Dur sebagai rekan intelektualnya. Ide itu tentu saja mendapat tentangan keras banyak pihak dan akhirnya teraborsi.
Pilihan itu bukan hanya cerdik, bervisi, dan srategis, tapi juga sudah mengandaikan keikutsertaan negara Timur Tengah itu dalam kompetisi kekuatan dan kekuasaan masa depan yang berbasis data.
Peradaban mutakhir memperlihatkan, adanya perseteruan hingga konflik fisik, persaingan usaha, dominasi satu negara pada negara lain, ditentukan oleh kemampuan satu negara mengakses dan mengoleksi data (lawan khususnya). Apa yang terjadi di Rusia, Eropa Timur, Irak, adalah bukti keampuhan data sebagai arsenal utama perang masa kini.
Maka terbayanglah apa yang hendak didapat Israel melalui misi dagangnya ke Indonesia. Karena kesadaran tentang kekuatan data memang rendah, akhirnya kita dibenturkan pada realitas baru bahwa siapa menguasai data, ia berkuasa.
Kita pun mafhum (sebagaiman biasanya), kita tidak cukup berdaya, lalu menerima kenyataan kita (sebagaimana biasanya) sebagai korban, dengan apologi bahwa itulah nature perubahan adap manusia. Mengenaskan. Memang.
SEBENARNYA, peristiwa di atas hanya runtutan atau kelanjutan dari kebijakan Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo di masa pemerintahan Soeharto. dalam pertemuan tahunan WTO di Singapura, ia menyetujui gerakan yang diprakarsai Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Demi satu konsesi: AS dan Jepang berjanji tidak mengangkat keburukan perburuhan Indonesia, penahanan pemimpin serikat buruh, juga penganiayaan buruh pejuang di WTO. Kesepakatan itu berupa pasar bebas untuk produk informasi dan teknologi.
Luar biasa. Mengapa? Karena hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir keberanian Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS.
Akibat dari kebijakan di atas sudah dapat kita lihat belakangan ini. Bukan hanya industri teknologi-informasi dalam negeri perangkat lunak maupun kerasnya yang tergilas habis korporasi global, namun juga peluang mengalirnya data-data vital dan rahasia negeri ini, baik data politik, militer, ekonomi-bisnis, maupun kultural. Dengan dikuasainya database negeri ini, soal penyubordinasian atau penaklukan tinggal masalah waktu.
Selain itu, terdapat satu keributan kecil yang juga kurang terperhatikan, apalagi membayangkan dampak besarnya ke depan.
Belakangan ini, pengusaha warnet dan berbagai kantor besar di Indonesia resah karena ada rencana razia software oleh pihak kepolisian. Lebih dari 60 persen perangkat lunak di negeri ini memang ilegal.
Bahkan di bisnis warnet, statistik itu mungkin hampir 100 persen. Jika razia benar-benar dilaksanakan, sebagian besar usaha kecil itu akan gulung tikar. Bayangkan jika untuk satu PC saja, pengusaha warnet harus membayar 350 dollar AS demi satu software yang legal.
Namun, hal lain yang terbayang adalah penghasilan yang dapat berangka triliunan rupiah bagi Microsoft, korporasi global yang ditengarai berandil besar dalam aksi ini.
Memang di pasar hak intelektual Indonesia kerap masuk daftar maling alias negeri pencuri hak intelektual. Cap legam seperti ini dianggap sebagai satu hal wajar karena kita (mau tak mau) menerima standar hukum dan moral dunia baru. Standar, yang oleh para elite pun disadari, melulu direkayasa melalui penetrasi paham-paham kapitalisme, liberalisme, dan globalisme.
Rekayasa yang terjadi begitu intensnya, hingga kita jadi begitu mafhum dan ikhlas menjadi korbannya.
SOAL maling atau pencurian hak intelektual ini pernah memunculkan berbagai pembelaan, terutama mengenai karya-karya tertulis dan cetakan. Namun propaganda hebat yang disponsori korporasi global menggugurkannya.
Nyata sesungguhnya, kepentingan apa yang bersembunyi di balik propaganda anti pencurian hak-intelektual. Bukan hanya soal hak-hak para pekerja intelektual, tapi juga kepentingan bisnis triliunan dolar, pemberlakuan pasar bebas, hidup liberal beserta segala risikonya, dan pada akhirnya juga dominasi politik, ekonomi, militer, dan kultural oleh negara-negara produsen utama produk teknologi itu atas negara-negara konsumennya.
Kita tahu, negara-negara kapitalis kaya tersebut juga memiliki sejarah kolonialisme awal. Mereka, selama masa kolonial telah menjarah begitu luar biasa, bukan hanya sumber daya alam negara jajahannya, tapi juga produk budaya, yang tak lain adalah karya intelektual rakyat jajahan.
Museum-museum besar, perpustakaan-perpustakaan, pusat studi atau Universitas di Eropa dan Amerika, menyimpan karya-karya intelektual dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin, dari masa purba hingga modern. Bahkan Neopoleon Bonaparte mengabadikan penjarahan ini dalam satu diorama tentang proses pencurian dan pemindahan megalit dari Mesir ke Perancis.
Megalit itu kini jadi landmark kota Paris. Maka kultur Eropa (dan barat pada umumnya) harus berterima kasih pada negara jajahannya karena mereka berkembang, bertambah kaya, antara lain dari penjarahan-penjarahan ini.
Sehingga kemudian muncul Matisse, Picasso, Debussy, hingga Peter Gabriel atau arsitektur posmodernis yang karya-karya monumentalnya berkat profit penjarahan di atas.
Kultur pop Amerika Serikat (AS) juga sebagai misal, sungguh-sungguh harus berterima kasih pada benua hitam Afrika atas kontribusinya membuat produk-produk budaya AS begitu hebat dan menghasilkan bisnis hiburan yang hanya bisa ditandingi bisnis senjata.
Maka sesungguhnya soal maling-malingan, soal curi-curian, sudah menjadi tabiat umum dari warga bumi. Kita, juga negeri berkembang lainya, tak dapat berbuat banyak ketika kekayaan intelektual nenek moyang menjadi harta warisan di negara maju.
Kita tahu, karya-karya intelektual yang dijarah itu benar-benar mengisap habis esensi atau substansi dari peradaban kita. Kita tinggal terima sisa, sehingga untuk mendapatkan substansi, mengetahui jati diri, kita pun harus bertanya pada mereka.
Kini, ketika kita hanya mengambil atau katakanlah mencuri software, yang sebenarnya cuma kulit dari karya intelektual bernama teknologi, kita sudah dikecam dan diancam habis-habisan.
Apa kita lalu kembali mafhum, dan menerima diri kita sebagai korban. Korban yang ikhlas?
Radhar Panca Dahana
Sastrawan
Pencuri Hak Intelektual - Sunday, June 26, 2005 -
|
Web | Results 1 - 10 for Kliping Media Masa[definition]. |
After just a month of taking Penis Enlarge Patch you will not recognize your dick in a mirror.
RE: - - |
Tekstil China Menyerbu seperti Tsunami
Bukan Main, Pendapatan Para Eksekutif Properti
Pikiran Rakyat - 05 Juni 2005 MONEY game, tak hanya melanda dunia nyata, di dunia maya pun hal serupa dengan model ini banyak terjadi. Bahkan kondisinya lebih rawan karena transaksi dilakukan nyaris tanpa bukti. Kalau dilakukan melalui ATM masih menyisakan bukti berupa printout slip transfer. Pesan berantai di internet bisa kita temui di kotak surat elektronik. Mungkin kita suka kesal dengan adanya e-mail yang tidak dikenal, tidak hanya satu bahkan puluhan hingga ratusan yang menawarkan keuntungan ribuan dolar, bak tamu tak diundang mampir ke kotak surat elektronik yang sebenarnya privacy. Cara tersebut juga merupakan salah satu praktik pemasaran di internet. "Spam atau unsolicited e-mail merupakan cara promosi yang tidak profesional. Saya sangat tidak menyarankan cara seperti ini. Banyak orang Indonesia tidak mengerti spam itu apa. Spam bisa diartikan mengirim e-mail promosi secara sembarangan. Maksudnya orang yang dikirim e-mail tersebut sama sekali tidak pernah meminta informasi lewat e-mail tersebut," kata penerima Anugerah Kartini 2005, Anne Ahira. Akhirnya banyak orang yang menjadi skeptis terhadap MLM atau bisnis network marketing. Padahal, potential earning untuk bisnis ini sangat baik kalau tahu cara memasarkannya. "Banyak orang gagal, karena itu tadi, mereka menjual bisnis ini kepada orang yang salah atau cara me-market-nya juga salah," tambah CEO asian Brain.com. Padahal, lanjutnya, di internet sebenarnya banyak peluang usaha dengan segmen dan target market yang lebih luas, bahkan menjangkau seluruh dunia. "Kenapa masih banyak orang memandang sebelah mata pada network marketing business? Katanya karena si upline mencari keuntungan dari downline. Bila demikian kenapa tidak kita melihat keuntungan untuk si downline? Misalnya diibaratkan dia bekerja sebagai karyawan untuk suatu perusahaan, apa ini tidak berarti dia memberi keuntungan untuk si pemilik perusahaan? Lalu, apa bedanya dengan upline yang mendapat untung dari downline?" ujar anak kedua dari 3 bersaudara ini. Yang pasti, bedanya kalau di perusahaan, kata Hira, kita tidak punya kesempatan yang sama dengan teman-teman atau bos kita untuk menjadi pimpinan perusahaan atau pemilik perusahaan, tapi di network marketing, siapa pun, kapan pun join-nya, asal mau berusaha, bisa berhasil dan berada di posisi puncak. "Di internet sebenarnya banyak sekali network marketing program, mungkin ada ribuan. Asal tahu saja, kurang dari satu tahun saya ikut network marketing online tapi downline saya sudah tersebar di 5 benua, tepatnya di 85 negara. Omzet saya per bulan sudah ribuan dolar. Tidak ada satu pun di antara ribuan downline saya adalah kerabat dekat seperti tetangga, keluarga, teman, atau saudara. Sebaliknya, setelah saya berhasil, mereka datang sendiri," imbuhnya. ** BISNIS di internet yang serupa dengan arisan berantai atau money game, sangat banyak. Untuk itu masyarakat harus jeli karena boleh jadi dalam penawaran tersebut benar-benar internet marketing, di mana ia sebenarnya sedang malakukan mata rantai distribusi, maupun media penyampai pesan (promosi). Anne, internet marketer asal Indonesia yang disejajarkan dengan 30 internet marketer kelas dunia, memberikan contoh, bila kita menjual sebuah buku secara langsung ke pembeli, mendapat keuntungan 60-70 %. Dalam sistem network biasanya kita tidak langsung menjual ke konsumen akhir, melainkan menggunakan orang lain sebagai mata rantai. Keuntungan yang 60-70% tadi otomatis akan dibagikan pada rantai-rantai (downline) yang berhasil menjualnya langsung kepada konsumen akhir. Pembawa informasi atau perekrut downline tersebut (upline) sebagai tangan pertama yang menawarkan produk tersebut tentunya mempunyai hak atas keuntungan penjualan dari downline-nya. Untuk membedakan apakah itu money game atau bukan mudah saja, bila pembagian keuntungan tak terbatas dalam rantai network marketing itu, sudah bisa dipastikan itu adalah money game. Bisa kita hitung sendiri, bila keuntungan dari menjual sebuah buku itu 1.000, kemudian keuntungan yang dibagikan 1.100, dari mana untuk menutupi kelebihan komisi tersebut. "Artinya bila level rantainya tak terhingga, pembayaran komisi bisa lebih besar dari yang tersedia," kata Anne. Belajar dari pengalamannya, Anne memberi tahu persiapan apa yang harus dimiliki sebelum "membuka usaha" di internet. 1. Memiliki akses ke internet. Kalau bisa jangan sampai pakai warnet (warung internet), karena akan banyak data yang harus disimpan atau alat marketing yang harus di-install. Itu tidak bisa dilakukan di warnet. 2. Mengerti cara mengoperasikan komputer. Tidak perlu jadi ahli komputer, paling tidak tahu cara kirim e-mail, browsing, copy/paste. 3. Mengerti bahasa Inggris, namun tidak dituntut untuk mahir menguasainya, karena bisnis yang dijalankan itu adalah bisnis international. 4. Siap mental. "Banyak orang berpikiran saya menghasilkan ribuan dolar seperti magis. Wush...abrakadabra! dan ribuan dolar pun datang! Mana ada seperti itu! Akan ada saatnya Anda merasa frustrasi. Mungkin mengeluh, kenapa kok saya belum berhasil saja ya? Anda keluar uang, tapi tidak menghasilkan. Lalu Anda menyerah! Itu salah. Pada saat Anda merasa frustrasi, itu sebenarnya temporary defeat. Kalau Anda terus mengerjakan bisnis ini dengan rajin, evaluasi dan belajar dari kesalahan, berjalan terus pada track yang benar, Anda bisa pensiun kurang dari 5 tahun! Serius!" tandas Anne. 5. Siap dengan dana. "Banyak orang berpikiran, kita bisa dapat uang dari internet dengan gratisan. Wah mana ada seperti itu, It takes money to make money." Saya belum pernah mendengar ada orang menjadi kaya dengan cara yang gratisan di internet," katanya.*** {Jalu} Berita Terkait: Hikmah PR - 05 Juni 2005 Index Page Arisan Berantai Cenderung Merupakan Penipuan |
Search within results | Language Tools | Search Tips | Dissatisfied? Help us improve |
Google Home - Blogger - Blogger Templates |
© 2005 Kliping Media Masa